Daftar Blog Saya

Jumat, 23 April 2021

DUET SRIKANDI DESA KERTASADA, “PEMBERANTAS RENTENIR”


           Uang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari karena dengan uang seseorang dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga tidak heran jika ada yang menyebutkan uang adalah penggerak perekonomian suatu negara. Walaupun orang bijak mengatakan bahwa uang bukanlah segalanya, akan tetapi, jika kita tidak memiliki uang maka sebuah penderitaan cepat atau lambat akan segera dimulai.

           Kemiskinan yang membelenggu kehidupan seseorang, menyebabkannya melakukan banyak cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara yang paling mudah dan pada dasarnya yang diperbolehkan adalah berhutang, baik itu kepada perorangan atau kepada lembaga keuangan.

      Fenomena sosial tersebut menjadi titik gerak pembuat kebijakan (pemerintah) untuk berupaya terus membangun Indonesia menjadi negeri yang lebih baik. Salah satu upaya pemerintah dalam mensejahterakan penduduk kalangan menengah ke bawah diwujudkan dengan melakukan kerjasama terhadap lembaga-lembaga donor. Lembaga donor berperan penting sebagai lembaga yang memberikan bantuan pembiayaan bagi masyarakat.

 

             Pemberian hibah atau pinjaman kepada masyarakat memiliki fungsi dan peran untuk mendorong berbagai reformasi dalam tata kelola kemasyarakatan dalam segala bidang, termasuk didalamnya reformasi dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan.

             Dana bantuan dari lembaga-lembaga donor di Indonesia tidak langsung diberikan kepada masyarakat sebagai objek, tetapi disalurkan melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan perbankan.

             Tetapi pada kenyataannya bank kurang dapat diakses masyarakat secara mudah daripada LKBB. Sebab transaksi yang terlampau kecil tetapi dalam jumlah unit usaha yang sangat besar ini menyebabkan transaction cost sangat tinggi. Sehingga LKBB menjadi sebuah lembaga andalan untuk memberikan dana bantuan kepada masyarakat menengah ke bawah.

  Secara formalitas hukum, LKBB terbagi menjadi LKBB informal dan formal. LKBB informal, seperti tengkulak, rentenir atau bank thithil alias nya’kanyak, lebih fleksibel karena tidak berbadan hukum, sedangkan LKBB formal, Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), umumnya tetap memperlakukan usaha kecil sama dengan usaha menengah ke atas dalam pengajuan pembiayaan, diantaranya mencakup kecukupan jaminan, modal, maupun kelayakan usaha yang dipandang memberatkan pelaku pengusaha kecil.

              LKBB formal dan perbankan menerapkan syarat yang tidak mudah dipenuhi oleh masyarakat bawah. Hal tersebut kemudian menjadi latar belakang bagi rumah tangga miskin berupaya mencari alternatif pinjaman guna memenuhi kebutuhan mereka. Alternatif tersebut akhirnya jatuh pada LKBB informal, seperti tengkulak maupun rentenir yang dalam bahasa masyarakat Jawa lebih dikenal dengan sebutan bank thithil atau nya’kanyak di daerah Sumenep.

               Belum diketahui secara jelas dari mana dan siapa yang mengawali penyebutan bank thithil alias nya’kanyak. Sebagian masyarakat menyebut rentenir dengan sebutan bank thithil alias nya’kanyak karena ketika seorang “nasabah” meminjam sejumlah uang kepada rentenir, maka pihak rentenir akan meminta pengembalian uang yang telah dipinjam dilakukan secara sedikit demi sedikit atau dalam bahasa Madura disebut nya’kanyak. Ada pula yang beranggapan bahwa para rentenir sebenarnya meminjamkan uang kepada “nasabah” untuk mengerogoti harta yang dimiliki nasabah sehingga perlahan-lahan harta yang dimiliki akan habis untuk menutupi hutang kepada rentenir yang semakin hari semakin bertambah.

               Ditinjau dari sistem serta bunga yang dipatok kreditur terhadap debiturnya, bank thithil alias nya’kanyak dinilai sangat merugikan masyarakat. Ditambah pula jika ditinjau dari sisi syari’at, terdapat unsur riba yang dapat mengurangi kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah.

   Praktik bank thithil alias nya’kanyak terjadi hampir di seluruh pelosok Madura, bahkan merebak di daerah perkotaan. Praktik ini juga tidak melihat bagaimana bentuk kehidupan sosial dan keagamaan pada suatu daerah, seolah-olah bank thithil alias nya’kanyak telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di tiap-tiap daerah. Praktik bank thithil alias nya’kanyak seperti yang diuraikan di atas juga terjadi di Desa Kertasada Kecamatan Kalianget Kab. Sumenep.

    Desa Kertasada identik sebagai sebuah wilayah yang sarat dengan unsur-unsur kemajemukan. Hal ini dikarenakan Desa Kertasada sebagai desa semi kota, yang mana nuansa agamis dan kegotongroyongan masih terlihat, tapi gaya hidup perkotaan juga sudah mulai masuk.

               Namun kondisi sosial ekonomi masyarakat di Desa Kertasada tidak sepenuhnya aman dan kondusif, karena pada kenyataannya masih terdapat banyak

ketimpangan yang terjadi di lingkungan Desa ini. Ketimpangan yang terkadang memiliki nuansa kriminal kerap terjadi di lingkungan Desa Kertasada yang tidak memandang apakah ketimpangan tersebut dilakukan secara individual ataupun secara berkelompok, bahkan, tidak memandang apakah pelakunya masih di bawah umur atau bahkan sudah sangat berumur. Salah satunya yaitu praktik rentenir yang setiap hari menghantui ketenangan dan kenyamanan di Desa Kertasada ini.

 

Pada hakikatnya banyak pihak yang telah melakukan berbagai kegiatan guna melawan terjadinya praktik rentenir di Desa Kertasada, misalnya, dari pihak Desa Kertasada dengan adanya BUMDes dan Kopwan, serta pihak BKM Sinar Terang melalui Unit Pengelola Keuangan (UPK) untuk memberikan pinjaman lunak kepada masyarakat, dan membantu agar masyarakat bisa meningkatkan pendapatan yang mana akan berimbas terangkatnya ekonomi keluarga.


               Bapak Edi sunarto selaku Koordinator BKM Sinar Terang Desa Kertasada, bersama dengan seluruh anggota Pimpinan Kolektif BKM serta Unit Pengelola Keuangan (UPK) bersinergi dengan pihak desa tidak henti-hentinya mensosialisasikan di masyarakat agar tidak terus terjerembab pinjam kepada Rentenir atau bank thithil atau nya’kanyak. Dalam hal ini Unit Pengelola Keuangan (UPK) yang dimanajeri Ibu Dewi Yulianti, SE sebagai UPK 1 dan Ibu Ice yustika Dewi, ST sebagai UPK 2, tidak henti-hentinya mensosialisasikan dan memberikan penyadaran serta motivasi dan solusi, baik lewat kegiatan di masyarakat seperti Kumpulan RT, Pertemuan warga, Pengajian dll.

              Karena getol dan giatnya ketiga ibu-ibu ini menyuarakan pemberantasan Rentenir, masyarakat menjuluki mereka “Duet Srikandi Pemberantas Rentenir”.

              Yang mana tujuannya sangat mulia yaitu agar masyarakat Desa Kertasada tidak terus menerus habis digerogoti oleh Rentenir atau bank thithil atau nya’kanyak. Sehingga tercapai kebahagiaan dunia akherat. Aaminn Ya Rob..

  BKM 'Estu' Desa Marengan Daya  Berikan Bansos Bagi Warga Miskin dan Lansia Rabu, ( 27/04 ) Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Es...