Oleh : Yudit Arif Adi Nugroho
Faskel Sosial KOTAKU
Pemberian hibah atau pinjaman kepada masyarakat memiliki fungsi
dan peran untuk mendorong berbagai reformasi dalam tata kelola kemasyarakatan
dalam segala bidang, termasuk didalamnya reformasi dalam bidang ekonomi dan
kesejahteraan. Dana
bantuan dari lembaga-lembaga donor di Indonesia tidak langsung diberikan kepada
masyarakat sebagai objek, tetapi disalurkan melalui Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) atau Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dan perbankan. Tetapi pada kenyataannya bank
kurang dapat diakses masyarakat secara mudah daripada LKBB. Sebab transaksi
yang terlampau kecil tetapi dalam jumlah unit usaha yang sangat besar ini
menyebabkan transaction cost sangat
tinggi. Sehingga LKBB menjadi sebuah lembaga andalan untuk memberikan dana
bantuan kepada masyarakat menengah ke bawah.
Secara formalitas hukum, LKBB terbagi menjadi LKBB informal dan formal.
LKBB informal, seperti tengkulak, rentenir atau bank thithil alias nya’kanyak,
lebih fleksibel karena tidak berbadan hukum, sedangkan LKBB formal, Koperasi
Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), umumnya tetap
memperlakukan usaha kecil sama dengan usaha menengah ke atas dalam pengajuan
pembiayaan, diantaranya mencakup kecukupan jaminan, modal, maupun kelayakan
usaha yang dipandang memberatkan pelaku pengusaha kecil.
LKBB formal dan perbankan menerapkan syarat yang tidak mudah
dipenuhi oleh masyarakat bawah. Hal tersebut kemudian menjadi latar belakang
bagi rumah tangga miskin berupaya mencari alternatif pinjaman guna memenuhi kebutuhan
mereka. Alternatif tersebut akhirnya jatuh pada LKBB informal, seperti tengkulak maupun rentenir yang dalam bahasa masyarakat jawa dikenal dengan sebutan bank thilthil atau nya'kanyak di daerah Sumenep.
Belum diketahui secara jelas dari mana dan siapa yang mengawali
penyebutan bank thithil alias nya’kanyak. Sebagian masyarakat
menyebut rentenir dengan sebutan bank thithil alias nya’kanyak karena ketika seorang
“nasabah” meminjam sejumlah uang kepada rentenir,
maka pihak rentenir akan meminta pengembalian uang yang telah dipinjam
dilakukan secara sedikit demi sedikit atau dalam bahasa Jawa disebut di-thithili. Ada pula yang beranggapan
bahwa para rentenir sebenarnya meminjamkan uang kepada “nasabah” untuk men-thithili atau mengerogoti harta yang
dimiliki nasabah sehingga perlahan-lahan harta yang dimiliki akan habis untuk
menutupi hutang kepada rentenir yang semakin hari semakin bertambah.
Ditinjau
dari sistem serta bunga yang dipatok kreditur terhadap debiturnya, bank thithil alias nyak'kanyak dinilai sangat merugikan masyarakat. Ditambah pula jika ditinjau dari sisi syari'at, terdapat unsur riba yang dapat mengurangi kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat kalangan menengah kebawah.
Praktik bank thithil
alias nya’kanyak terjadi hampir di seluruh pelosok Madura, bahkan
merebak di daerah perkotaan. Praktik ini juga tidak melihat bagaimana bentuk
kehidupan sosial dan keagamaan pada suatu daerah, seolah-olah bank thithil alias nya’kanyak telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di
tiap-tiap daerah. Praktik bank thithil
alias nya’kanyak seperti yang diuraikan di atas juga terjadi di Desa
Kebunan Kecamatan Kota Sumenep.
Namun kondisi sosial ekonomi
masyarakat di Desa Kebunan tidak sepenuhnya aman dan kondusif, karena pada
kenyataannya masih terdapat banyak ketimpangan yang terjadi di lingkungan Desa ini. Ketimpangan yang
terkadang memiliki nuansa kriminal kerap terjadi di lingkungan Desa Kebunan
yang tidak memandang apakah ketimpangan tersebut dilakukan secara individual
ataupun secara berkelompok, bahkan, tidak memandang apakah pelakunya masih di
bawah umur atau bahkan sudah sangat berumur. Salah satunya yaitu praktik
rentenir yang setiap hari menghantui ketenangan dan kenyamanan di Desa Kebunan
ini.
Desa Kebunan identik sebagai sebuah wilayah yang syarat dengan unsur-unsur kemajemukan. hal ini dikerenakan Desa Kebunan sebagai desa semi kota, yang mana nuansa agamis dan kegotong royongan masih terlihat, tapi gaya hidup perkotaan juga sudah mulai masuk.
Trio Srikandi Kebunan |
Pada hakikatnya banyak pihak yang
telah melakukan berbagai kegiatan guna melawan terjadinya praktik rentenir di Desa
Kebunan, misalnya, dari pihak Desa Kebunan dengan adanya BUMDes dan Kopwan, serta
pihak BKM MAWAR melalui Unit Pengelola Keuangan (UPK) untuk memberikan pinjaman
lunak kepada masyarakat, dan membantu agar masyarakat bisa meningkatkan
pendapatan yang mana akan berimbas terangkatnya ekonomi keluarga.
Bapak Drs. Moh. Warsid selaku koodinator BKM Mawar Desa Kebunan bersama dengan seluruh anggota Pimpinan kolektifBKM serta Unit Pengelola Keuangan (UPK) bersinergi dengan pihak desa tidak henti-hentinya mensosialisasikan kepada
masyarakat agar tidak terus terjerat pinjaman kepada rentenir atau bank thithil atau
nya’kanyak. Dalam hal ini Unit
Pengelola Keuangan (UPK) yang dikoordinatori oleh Ibu Suhantinah sebagai UPK 1 dan Ibu
Hanawiyah sebagai UPK 2 serta di bantu salah satu anggota PK BKM Pokja
Keuangan, yaitu Ibu Faridayanti, tidak henti-hentinya mensosialisasikan dan
memberikan penyadaran serta motivasi dan solusi, baik lewat kegiatan di
masyarakat seperti kumpulan RT, pertemuan warga, pengajian dll.
Karena
semangat kegigihan dan giatnya ketiga ibu-ibu
ini menyuarakan pemberantasan rentenir, masyarakat menjuluki mereka “Trio
Srikandi Pemberantas Rentenir”. Yang mana tujuannya, agar masyarakat Desa
Kebunan tidak terus menerus habis digerogoti oleh rentenir atau bank thithil atau
nya’kanyak. Sehingga tercapainya
ketentraman dan kenyamanan hidup di kalangan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar